Selasa, 02 April 2024

SITUS DAMAR PAYUNG KOTAYASA, SUMBANG, BANYUMAS, JAWA TENGAH

LEGENDA DAMAR PAYUNG (SITUS DAMAR PAYUNG KOTAYASA) Legenda Damar Payung terjadi ratusan tahun sebelum Banyumas tertulis di sejarah menjadi sebuah kabupaten,bahkan sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Cerita asal muasal nama Damar Payung tersebut terjadi bersamaan dengan terjadinya nama Desa Kotayasa,Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas yang tak lepas dari tokoh Ki Kertayasa. Ki Kertayasa yang dikenal sebagi pendiri ataupun cikal bakal nama Desa Ketayasa itu diibuktikan dengan adanya petilasan tepat di puser bumi Desa Kotayasa. Petilasan adalah semacam tempat singgah atau menetap sementara dalam kurun waktu tertentu yang ditandai menyerupai kuburan berbatu nisan. Mengapa ada nama Ki Kertayasa dalam Legenda Damar Payung? Konon Ki Kertayasa adalah termasuk abdi dalem Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400 masehi. Ia dengan beberapa pegawai istana lainnya ditugaskan untuk menjelajahi daerah Jawa Tengah tepatnya di lembah Serayu di sebelah selatan Gunung Slamet, kabupaten Banyumas. Mereka ditugasi untuk menginfentarisir ladang dan lahan pertanian di wilayah Banyumas. Singkat cerita Ki Kertayasa sampai di sebuah pemukiman di lereng Gunung Slamet dan bertempat tinggal disitu bersama beberapa warga lokal yang telah tinggal lebih dulu. Ada sekitar sepuluh keluarga yang menetap di wilayah itu. Setelah membuka hutan untuk berladang, mereka mencoba menanam padi pada area yang dekat dengan mata air untuk dijadikan persawahan. Seiring dengan banyaknya masyarakat yang bertani,maka kebutuhan air semakin tidak mencukupi. Berbagai upaya dilakukan dengan membuat bendungan-bendungan kecil untuk irigasi. Namun semua upaya belum mencukupi terutama di bagian barat dan selatan desa yang sudah terlebih dahulu dijadikan persawahan lebih luas. Walaupun ada sungai besar yaitu Kali Pelus tapi lahan pertanian jauh lebih tinggi dibanding kali tersebut mustahil air bisa sampai ke tanah yang berada diatsanya. Masalah air semakin menjadi perbincangan bahkan menjadi konflik antar warga. Pertengkaran dan bahkan perkelahian kerap terjadi gegara berebut air untuk sawah mereka masing- masing. Mengetahui hal tersebut Ki Kertayasa segera ambil sikap. Ia menelusuri Kali Pelus dengan harapan bisa menemukan jalan keluar atas permasalahan warga. Ia sampai di suatu lubuk (kedung) dengan air yang hijau menandakan dalamnya air. Selanjutnya ia melakukan ritual bersemedi diatas batu besar untuk minta petunjuk Sang Pencipta. Setelah memasuki hari ke-40 dalam semedinya ia ditemui Sang raja. Dalam pertemuan itu Ki Kertayasa diperintahkan untuk membuat bendungan di tempat ia duduk. Raja-pun bersabda kepada Ki Kertayasa, “Kertayasa,kamu harus membendung sungai ini tepat dipinggir atau dibawah kedung. Kedung ini sudah melakukan ILA atau sumpah setia. Kedung yang berbentuk MARON atau belanga ini tidak akan mencelakai warga sekitar sungai ini apalagi yang merawatnya. Camkan dan lakukan pekerjaan ini Bersama warga dan kurbankan seekor kambing setiap kali memulai pekerjaan tersebut. Saya percaya kamu bisa menyelesaikan pekerjaan itu kurang dari satu dasawarsa. Kamu tidak boleh pulang ke Kerajaan sebelum pekerjaan ini selesai!” “Terimakasih Paduka Raja…Titah paduka siap hamba laksanakan….!” Jawab Ki Kertayasa sambil bersimpuh dan menyembah. Ketika Ki Kertayasa terjaga dari semedinya ia telah berada dibawah payung dan didepannya ada nyala lentera yang sangat terang. Bahkan Ki Kertayasa terperanjat saat memegang payung tersebut terasa tidak asing baginya. Ternyata benar bahwa payung yang diberikan oleh sang raja dalam semedinya adalah payung yang selalu berada di pendopo kerajaan. Begitu pula dengan lentera minyak kelapa adalah lentera terbuat dari tembaga yang berkali-kali ia bersihkan di serambi kerajaan. Inilah pertanda bahwa usahanya telah diberkati oleh Yang Kuasa. Pagi harinya ia segera mengumpulkan semua warga menceritakan rencana pembuatan bendungan dan saluran irigasi. Rencana tersebut disambut warga dengan suka cita. Setelah segalanya siap merekapun memulai pekerjaan itu. Di muka kedung itu dibendung dengan menggunakan batu- batu besar dan benda-benda lain seperti jerami,batang pisang, bambo dan lain-lain. Air dialirkan ke timur menyusuri bibir tebing. Payung dan lentera (damar) ditaruh di pinggir bendungan dan menjadi benda yang dikeramatkan oleh warga untuk menjaga bendungan. Damar atau lentera adalah penerang disaat gelap dan payung sebagi peneduh disaat terik dan hujan. Maka bendungan itu dinamakan Damar payung. Kedung yang diceritakan Raja bahwa kedung itu telah melakukan sumpah setia atau ila maka dinamakan Kedung Ila. Anak sungai kecil dari bendungan itu disebut Kali Maron karena aliran dari kedung Ila yang berbentuk Belanga atau Maron. Aliran irigasi itu diperpanjang hingga menembus desa dan mengairi sawah yang luas. Sejak saat itu Kotayasa tak kekurangan air sawah dan air bersih. Ketika banjir besar menjebol bendungan maka warga kompak untuk memperbaikinya beramai-ramai dan selalu menyembelih kambing jantan untuk makan siang Bersama. Ki Kertayasa yang sudah berada di desa tersebut puluhan tahun bahkan ada yang menyebutnya ratusan tahun karena masyarakat percaya bahwa umur Ki Kertayasa 230 tahun itu menghilang entah kemana. Terdengar kabar bahwa Ki Kertayasa itu pulang ke Majapahit namun ada yang meyakini bahwa Ki Kertayasa murca, artinya meninggal dengan menghilang berikut jasadnya. Tapi ia meninggalkan padepokan yang kemudian diberi tanda sebagai petilasan Kertayasa yang kemudian wilayah itu menjadi wilayah Kertayasa. Kertayasa berubah menjadi Ketayasa dan terakhir menjadi Kotayasa di masa Bupati Soekarno Agung. (baca Legenda Gunung Gaber) Tahun berganti tahun,windu berganti abad,pada tahun 1772 pada masa pemerintahan Bupati Banyumas Tumenggung Yudanegara IV Gunung Slamet Meletus hebat. Karena sebelum Gunung Slamet Meletus ditandai dengan gempa vulkanik 40 hari 40 malam,maka semua warga mengungsi ke arah selatan menjauh dari lereng Slamet. Letusan yang dahsyat itu nyaris tak memakan korban jiwa warga lereng Gunung Slamet bagian selatan. Konon abu vulkanik berterbangan sampai ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Lava mengalir ke semua celah rendah yaitu sungai-sungai di kakai Gunung tak terkecuali Kali Pelus itu. Aliran lava itu mengeras menjadi hamparan batu. Bendunganpun rusak namun saluran irigasi Maron tetap dalam keadaan baik. Tidak sampai satu tahun setelah letusan,masyarakat Kembali beraktifitas normal. Berkat kekompakan warga, bendungan itu berhasil diperbaiki sedangkan lentera dan payung dimasukan ke tempat aman di celah-celah batu dekat Kedung Ila. Beberapa tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tepatnya tahun 1949 sampai tahun 1950 mulai dibangun pintu irigasi permanen. Pembangunan dengan bahan semen itu hanya untuk pintu irigasinya dan beberapa puluh meter talud saluran irigasi maron. Bendungan yang berada di sungai masih menggunakan bahan alami yang masih bisa terbawa arus jika sewaktu-waktu datang banjir. Maklum karena medan yang jauh dari jalan raya dan arus air yang relative deras pada saat itu. Pada tahun 1950 damar dan payung yang berada di celah bebatuan dipindah ke dalam tugu monument yang berbentuk payung. Monument itu dibuat oleh salah satu organisasi pergerakan Indonesia PKI pada tahun 1950 sebagai tanda telah dibangunnya pintu irigasi dengan dibuktikan adanya relief pada dinding tugu (monument). Namun belakangan ini tulisan (prasasti) tersebut sudah tak begitu bisa terbaca karena telah ‘dirusak’ oleh waktu dan politik. Pembangunan bendungan permanen baru bisa dilaksanakan pada masa pemerintahan Kepala Desa Sardan Edy Soekirno tepatnya pada tahun 1976-1977 dan diresmikan tahun1978 saat Bupati Rujito. Saat itu baru pertama kali ada pertunjukan lengger di tepi sungai yaitu di bendungan Damar Payung. Sejak itu masyarakat petani merasa nyaman karena bendungan tidak pernah jebol lagi kendati ada banjir besar. Saluran irigasai yang dikenal dengan nama Kali Maron itu tahun demi tahun dibuat talud permanen. Pada tahun 2019 diatas bendungan dibangun Jembatan Gantung yang menghubungkan Gerumbul Dukuh Peken Dengan Desa Karangsalam. Jembatan gantung berikut jalan cor itu dibiayai dari APBN yang nilainya lebih dari 5 milyar. Demikian sekilas ceritera tentang asal usul nama Situs Damar Payung yang serkarang kita kenal sebagai obyek wisata alam Damar Payung. Pada bagian lain dibedah pula tantang misteri Batu Entep dan Goa Delik yang berlokasi disekitar obyek wisata Damar payung. Semoga bermanfaat.

3 komentar: