Legenda GUNUNG GABER
Versi Bajigur Kardjit
Selepas
senja petang itu tampak bulan merah muncul di kaki langit di puncak
bukit. Malam yang beberapa hari terakhir ini tampak redup, samar karena
gelap berbaur cahaya bulan, kini cerah bagai di senja hari. Bahkan
lebih indah karena langit dihiasi jutaan bintang yang seakan berkedip
tertiup angin. Indah tak terperikan. Saat-saat seperti ini biasa
dimanfaatkan oleh seluruh warga kampung untuk bercengkerama bersama
kerabat dan tetangga di padang rumput di sudut kampung. Orang tua
membawa anak-anak mereka untuk bermain petak umpet, sebagian anak yang
menginjak remaja bernyanyi-nyanyi sambil sesekali berbincang tentang
masa depan mereka. Para orang tua duduk-duduk memperbincangkan banyak
hal termasuk ladang-ladang ubi mereka yang kini telah berumur dan siap
untuk dipanen. Sesekali terdengar kidung asmarandana dari dalam gubug
berpelita lentera tak jauh dari tempat mereka berkerumun.
Malam
kian larut, udara semakin dingin. Satu persatu para orang tua mengajak
anaknya untuk pulang ke rumah masing-masing. Kebanyakan mereka langsung
tidur, namun beberapa orang yang lebih tua memilih untuk duduk di depan
tungku di dapur untuk memasak air atau membakar pala pendem
buat nyamikan hingga menjelang tengah malam. Sesaat kemudian suasana
malam kembali sepi. Mereka tertidur pulas dengan mimpi mereka
masing-masing.
Menjelang fajar mereka telah tebangun dan sibuk
dengan aktifitas rutinnya. Para ibu sibuk di dapur sedang para bapak
pergi ke ladang. Sebagian anak laki-laki mengikuti orang tua membantu di
ladang, sebagian lagi ada yang langsung bertemu kawan-kawannya pergi ke
hutan mencari kayu bakar. Kebanyakan anak perempuan sibuk di sungai
kecil di lembah untuk mencuci pakaian dan peralatan dapur. Aktifitas
yang tak terjadwal itu rutin dilakukan tanpa beban. Menjelang siang
kadang mereka pulang dari ladang, namun banyak yang harus dikirimi
makanan oleh istri atau anak mereka ke ladang.
Malam kedua kembali
terang benderang. Merekapun berkumpul lagi seperti malam sebelumnya,
bersendaugurau sambil menikmati malam yang penuh bintang dan sinar
bulan. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan menghilangnya sebagian bintang
yang tengah mereka pandangi. Tidak lama kemudian semua bintang
menghilang tak satupun tersisa. Sinar bulanpun mulai meredup hingga
malam yang seharusnya adalah purnama kini gelap gulita. Bukan karena
langit berkabut atau malam mau turun hujan, bukan pula raksasa Gerhana
yang tengah kelaparan memakan bulan. Lalu apa gerangan yang telah
terjadi malam itu?
Namanya Putri Gerlipa yang mendiami kadipaten
Gerlimut adalah seorang puteri yang cantik jelita. Tak heran banyak
lelaki yang tergila-gila kepadanya. Karena banyaknya lelaki yang ingin
meminang menjadikannya istri, maka Putri Gerlipa mengajukan persyaratan
bagi calon pendampingnya berupa sayembara. Bagi para pelamar diminta
untuk membawa untaian manik-manik yang terbuat bukan dari berlian batu
permata, tapi terbuat dari seribu bintang. Mendengar permintaan Sang
Putri, maka para lelaki yang ingin mendapatkan Sang Putri, mengikuti
sayembara tersebut. Dengan berbagai upaya mereka beradu cepat dengan
harapan bisa mendapatkan bintang-bintang di langit, mengumpulkannya
hingga seribu buah dan diuntai menjadi manik-manik yang akan
dipersembahkan kepada Sang Putri. Namun tidak sedikit dari mereka yang
pasrah dan memilih mundur dari kompetisi itu. Mereka hanya mengumpat dan
bergumam, “Kenapa harus dari bintang.....bukan dari kunang-kunang?”
Singkat
cerita tinggallah dua pria perkasa yaitu Kebo Gumulung dan Grandong
yang mampu bersaing berebut bintang. Mereka sibuk memetiki bintang
dengan menggunakan puncak Gunung Slamet sebagai tumpuan hingga tangannya
mampu menggapai bintang yang bertaburan di langit. Diambilnya satu demi
satu, dimasukannya kedalam kantong yang dibuat sedemikian rupa. Kadang
beberapa buah bintang itu terjatuh ke kaki gunung, dan itu akan menjadi
rebutan ratusan pria dibawahnya. Kebo Gumulung dan Grandong saling
berebut hingga menjadikan pertikaian. Mereka saling pukul dan saling
serang. Kalah dalam perkelahian, Kebo Gumulung terlempar jatuh ke
lembah. Tinggalah Grandong sendirian tanpa ada pesaing untuk
mempersunting Putri Gerlipa. Dibenaknya hanya ada wajah Putri yang
jelita. Nasi sudah di bibir, pikirnya.
Mengetahui penyebab
hilangnya bintang-bintang di langit saat bulan purnama itu adalah ulah
dari Grandong, maka marahlah kesatria bijak Raden Kertayasa yang setiap
malam memperhatikan kegembiraan warga kampung. Ia mendekati mahluk yang
tengah asyik mengumpulkan bintang yang ia petik dari langit.
“Hai
Ki Sanak, kembalikan bintang-bintang itu ke langit! Tidak tahukah bahwa
bintang itu adalah milik Hyang Kuasa yang diperuntukan buat warga
kampung?”
“Ha ha ha ha.....Kertayasa......jangan kau ganggu aku.
Lihat Putri Gerlipa telah menunggu kedatanganku bersama manik-manik ini.
Pergilah haiii, Kertayasa!” Hardik Grandong, tanpa mempedulikan
perintah Kertayasa.
Raden Kertayasa marah besar, didekatinya
puncak itu lalu ditendangnya hingga puncak itu berterbangan ke arah
selatan bersama tubuh Grandong. Tubuh Grandong terpelanting ke udara
dan jatuh disebelah utara jasad Kebo Gumulung yang telah ia kalahkan
sebelumnya. Diambilnya satu demi satu oleh Raden Kertayasa bintang yang
terjatuh dan diterbangkannya kembali ke langit. Bintang-bintang itu
terbang dan menari-menari memenuhi seluruh langit malam itu. Bulan
tersenyum melihat seluruh warga kampung bergembira dan memuja dirinya.
Warga kampung kembali menjalani malam purnama dengan suka cita tanpa
harus was-was akan munculnya manusia raksasa Grandong.
Siapakah
Grandong itu? Grandong adalah pria pendatang dari negeri sebrang berujud
setengah raksasa yang perkasa. Bukan saja sakti dengan ilmu sihir dan
kanuragan, tapi perkasa “kelelakiannya”. Konon ia masih keturunan Raja
Alengka Prabu Rahwana. Ia beristri lebih dari 40 orang dan mempunyai
anak ratusan orang. Itulah walaupun telah beristri lebih dari 40 orang
ia tetap ingin menambah istri acapkali menemukan perempuan cantik. Tapi
hasrat untuk beristri lagi terpupus sudah karena ia harus terbunuh oleh
tendangan kaki Prabu Kertayasa. Kantung testis (gaber) miliknya terlepas
dari tubuh dan tertinggal disebelah utara jasadnya. Konon kantong
testis yang bergaris tengah belasan meter itu menggunung dan lama-lama
tumbuh semak dan berbagai tumbuhan hutan yang selanjutnya dikenal dengan
nama Gunung Gaber. Tempat jasad Grandong yang
berada di lembah selatan dikenal dengan nama grumbul Grandong
berdekatan dengan grumbul Kebo Gumulung. Beberapa ratus tahun kemudian
Raden Kertayasa meninggal dunia dengan cara murca / muksa, yaitu
meninggal dunia tanpa diketahui jasadnya. Ia hanya meninggalkan
petilasan tepat di tengah kampung. Kampung tempat Raden Kertayasa
mengakhiri aktifitas duniawinya diberi nama desa Ketayasa. Pada masa
pemerintahan Bupati Soekarno Agoeng sekitar tahun 1970-an desa Ketayasa
diganti menjadi Kotayasa. Artinya Desa Yang Akan Menjadi Kota.
Sedangkan puncak Gunung Slamet yang terdampar jauh ke arah selatan itu
diberi nama Gunung Tugel yang berada di selatan kota Purwokerto.
Gunung
Gaber masih berdiri kokoh hingga sekarang sebagai jelmaan dari kantung
testis (gaber) si Grandong. Pada malam-malam tertentu puncak Gunung
Gaber banyak didatangi para “peziarah” pria untuk melakukan ritual.
Kebanyakan para peziarah itu bermeditasi meminta untuk dikaruniai
kejantanan, keperkasaan pria. Tersebar kabar, bagi pria lemah syahwat
akan kembali perkasa setelah melakukan meditasi di puncak tersebut.
Maklum karena tempat tersebut terpendam kedua testis milik mahluk
perkasa bernama Grandong.
Letak Gunung Gaber berada di sebelah
timur desa Kotayasa dengan lereng timur menjadi batas desa Kotayasa
dengan desa Gandatapa. Gunung Gaber mudah dijangkau baik dengan jalan
kaki maupun kendaraan bermotor melewati jalan beraspal. Jarak dari
pemukiman hanya berkisaran 500 meter saja lewat pasar Tong Barang desa
Kotayasa ke arah timur.
Inilah cerita tentang terjadinya Gunung
Gaber yang lokasinya terletak di desa Kotayasa, kecamatan Sumbang,
kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Cerita ini fiktif belaka. Apabila
tersirat hal-hal ghaib, bukanlah ajakan untuk berbuat musrik.