Selasa, 27 Januari 2015

LEGENDA GUNUNG GABER

Legenda GUNUNG GABER
Versi Bajigur Kardjit

      Selepas senja petang itu tampak bulan merah muncul di kaki langit di puncak bukit. Malam yang beberapa hari terakhir ini  tampak redup, samar karena gelap berbaur cahaya bulan, kini cerah bagai di senja hari. Bahkan lebih indah karena langit dihiasi jutaan bintang yang seakan berkedip tertiup angin. Indah tak terperikan. Saat-saat seperti ini biasa dimanfaatkan oleh seluruh warga kampung untuk bercengkerama bersama kerabat dan tetangga di padang rumput di sudut kampung. Orang tua membawa anak-anak mereka untuk bermain petak umpet, sebagian anak yang menginjak remaja bernyanyi-nyanyi sambil sesekali berbincang tentang masa depan mereka. Para orang tua duduk-duduk memperbincangkan banyak hal termasuk ladang-ladang ubi mereka yang kini telah berumur dan siap untuk dipanen. Sesekali terdengar kidung asmarandana dari dalam gubug berpelita lentera tak jauh dari tempat mereka berkerumun.
      Malam kian larut, udara semakin dingin. Satu persatu para orang tua mengajak anaknya untuk pulang ke rumah masing-masing. Kebanyakan mereka langsung tidur, namun beberapa orang yang lebih tua memilih untuk duduk di depan tungku di dapur untuk memasak air atau membakar pala pendem buat nyamikan hingga menjelang tengah malam. Sesaat kemudian suasana malam kembali sepi. Mereka tertidur pulas dengan mimpi mereka masing-masing.
      Menjelang fajar mereka telah tebangun dan sibuk dengan aktifitas rutinnya. Para ibu sibuk di dapur sedang para bapak pergi ke ladang. Sebagian anak laki-laki mengikuti orang tua membantu di ladang, sebagian lagi ada yang langsung bertemu kawan-kawannya pergi ke hutan mencari kayu bakar. Kebanyakan anak perempuan sibuk di sungai kecil di lembah untuk mencuci pakaian dan peralatan dapur. Aktifitas yang tak terjadwal itu rutin dilakukan tanpa beban. Menjelang siang  kadang mereka pulang dari ladang, namun banyak yang harus dikirimi makanan oleh istri atau anak mereka ke ladang.
      Malam kedua kembali terang benderang. Merekapun berkumpul lagi seperti malam sebelumnya, bersendaugurau sambil menikmati malam yang penuh bintang dan sinar bulan. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan menghilangnya sebagian bintang yang tengah mereka pandangi. Tidak lama kemudian semua bintang menghilang tak satupun tersisa. Sinar bulanpun mulai meredup hingga malam yang seharusnya adalah purnama kini gelap gulita. Bukan karena langit berkabut atau malam mau turun hujan, bukan pula raksasa Gerhana yang tengah kelaparan memakan bulan. Lalu apa gerangan yang telah terjadi malam itu?
      Namanya Putri Gerlipa yang mendiami kadipaten Gerlimut adalah seorang puteri yang cantik jelita. Tak heran banyak lelaki yang tergila-gila kepadanya. Karena banyaknya lelaki yang ingin meminang menjadikannya istri, maka Putri  Gerlipa mengajukan persyaratan bagi calon pendampingnya berupa sayembara. Bagi para pelamar diminta untuk membawa untaian manik-manik yang terbuat bukan dari berlian batu permata, tapi terbuat dari seribu bintang. Mendengar permintaan Sang Putri, maka para lelaki yang ingin mendapatkan Sang Putri, mengikuti sayembara tersebut. Dengan berbagai upaya mereka beradu cepat dengan harapan bisa mendapatkan bintang-bintang di langit, mengumpulkannya hingga seribu buah dan diuntai menjadi manik-manik yang akan dipersembahkan kepada Sang Putri. Namun tidak sedikit dari mereka yang pasrah dan memilih mundur dari kompetisi itu. Mereka hanya mengumpat dan bergumam, “Kenapa harus dari bintang.....bukan dari kunang-kunang?”
      Singkat cerita tinggallah dua pria perkasa yaitu Kebo Gumulung dan Grandong yang mampu  bersaing berebut bintang. Mereka sibuk memetiki bintang dengan menggunakan puncak Gunung Slamet sebagai tumpuan hingga tangannya mampu menggapai bintang yang bertaburan di langit. Diambilnya satu demi satu, dimasukannya kedalam kantong yang dibuat sedemikian rupa. Kadang beberapa buah bintang itu terjatuh ke kaki gunung, dan itu akan menjadi rebutan ratusan pria dibawahnya. Kebo Gumulung dan Grandong saling berebut hingga menjadikan pertikaian. Mereka saling pukul dan saling serang. Kalah dalam perkelahian, Kebo Gumulung terlempar jatuh ke lembah. Tinggalah Grandong sendirian tanpa ada pesaing untuk mempersunting Putri Gerlipa. Dibenaknya hanya ada wajah Putri yang jelita. Nasi sudah di bibir, pikirnya.
      Mengetahui penyebab hilangnya bintang-bintang di langit saat bulan purnama itu adalah ulah dari Grandong, maka marahlah kesatria bijak Raden Kertayasa yang setiap malam memperhatikan kegembiraan warga kampung. Ia mendekati mahluk yang tengah asyik mengumpulkan bintang yang ia petik dari langit.
      “Hai Ki Sanak, kembalikan bintang-bintang itu ke langit! Tidak tahukah bahwa bintang itu adalah milik Hyang Kuasa yang diperuntukan buat warga kampung?”
    “Ha ha ha ha.....Kertayasa......jangan kau ganggu aku. Lihat Putri Gerlipa telah menunggu kedatanganku bersama manik-manik ini. Pergilah haiii, Kertayasa!” Hardik Grandong, tanpa mempedulikan perintah Kertayasa.
      Raden Kertayasa marah besar, didekatinya puncak itu lalu ditendangnya hingga puncak itu berterbangan ke arah selatan bersama tubuh Grandong. Tubuh  Grandong terpelanting ke udara dan jatuh disebelah utara jasad Kebo Gumulung yang telah ia kalahkan sebelumnya. Diambilnya satu demi satu oleh Raden Kertayasa bintang yang terjatuh dan diterbangkannya kembali ke langit. Bintang-bintang itu terbang dan menari-menari memenuhi seluruh langit malam itu. Bulan tersenyum melihat seluruh warga kampung bergembira dan memuja dirinya. Warga kampung kembali menjalani malam purnama dengan suka cita tanpa harus was-was akan munculnya manusia raksasa Grandong.
      Siapakah Grandong itu? Grandong adalah pria pendatang dari negeri sebrang berujud setengah raksasa yang perkasa. Bukan saja sakti dengan ilmu sihir dan kanuragan, tapi perkasa “kelelakiannya”. Konon ia masih keturunan Raja Alengka Prabu Rahwana. Ia beristri lebih dari 40 orang dan mempunyai anak ratusan orang. Itulah walaupun telah beristri lebih dari 40 orang ia tetap ingin menambah istri acapkali menemukan perempuan cantik. Tapi hasrat untuk beristri lagi terpupus sudah karena ia harus terbunuh oleh tendangan kaki Prabu Kertayasa. Kantung testis (gaber) miliknya terlepas dari tubuh dan tertinggal disebelah utara jasadnya. Konon kantong testis yang bergaris tengah belasan meter itu menggunung dan lama-lama tumbuh semak dan berbagai tumbuhan hutan yang selanjutnya dikenal dengan nama Gunung Gaber. Tempat jasad Grandong yang berada di lembah selatan dikenal dengan nama grumbul Grandong berdekatan dengan grumbul Kebo Gumulung. Beberapa ratus tahun kemudian Raden Kertayasa meninggal dunia dengan cara murca / muksa, yaitu meninggal dunia tanpa diketahui jasadnya. Ia hanya meninggalkan petilasan tepat di tengah kampung. Kampung tempat Raden Kertayasa  mengakhiri aktifitas duniawinya  diberi nama desa Ketayasa. Pada masa pemerintahan Bupati Soekarno Agoeng sekitar tahun 1970-an desa Ketayasa diganti menjadi Kotayasa. Artinya Desa Yang Akan Menjadi Kota. Sedangkan puncak Gunung Slamet yang terdampar jauh ke arah selatan itu diberi nama Gunung Tugel yang berada di selatan kota Purwokerto.
Gunung Gaber masih berdiri kokoh hingga sekarang sebagai jelmaan dari kantung testis (gaber) si Grandong. Pada malam-malam tertentu puncak Gunung Gaber banyak didatangi para “peziarah” pria untuk melakukan ritual. Kebanyakan para peziarah itu bermeditasi meminta untuk dikaruniai kejantanan, keperkasaan pria. Tersebar kabar, bagi pria lemah syahwat akan kembali perkasa setelah melakukan meditasi di puncak tersebut. Maklum karena tempat tersebut terpendam kedua testis milik mahluk perkasa bernama Grandong.
Letak Gunung Gaber berada di sebelah timur desa Kotayasa dengan lereng timur menjadi batas desa Kotayasa dengan desa Gandatapa. Gunung Gaber mudah dijangkau baik dengan jalan kaki maupun kendaraan bermotor melewati jalan beraspal. Jarak dari pemukiman hanya berkisaran 500 meter saja lewat pasar Tong Barang desa Kotayasa ke arah timur.
      Inilah cerita tentang terjadinya Gunung Gaber yang lokasinya terletak di desa Kotayasa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Cerita ini fiktif belaka. Apabila tersirat hal-hal ghaib, bukanlah ajakan untuk berbuat musrik.

BEST PRATICE

KEJUARAAN SEBAGAI SALAH SATU BEKAL MENGAJAR
Oleh: Bajigur Kardjit

Semua biasa saja. Itulah kalimat yang tepat untuk mengawali kisah seorang guru SD ini. Tidak ada kelebihan yang menonjol pada diri seorang guru yang bernama Kardjito yang kini mengajar di SD Negeri 1 Kotayasa, UPK Sumbang, Kabupaten Banyumas. Ia tidak termasuk guru berprestasi sebab kendati ia lulusan sekolah guru tahun 1985, sampai sekarang belum memiliki sertifikat mengajar. Artinya ia tidak terlalu istimewa dibanding dengan yang lain.
Semenjak remaja ia mempunyai hobi menulis. Ia sering mengisi rubrik Gelanggang Remaja pada koran SKM. Sesekali berpuisi dibeberapa acara resepsi baik di sekolah maupun diluar sekolah. Ia pernah menjadi juara tiga pada lomba lawak yang diselenggarakan oleh Pusat Penerangan Masyarakat (PUSPENMAS) Kabupaten Banyumas. Pada tahun 1982 bersama rekannya ia mendirikan group lawak yang berjalan hingga tahun 1988. Kendati mereka tidak begitu dikenal oleh masyarakat pada saat itu, mereka sering pentas di beberapa tempat di Purwokerto. Artikelnya yang berjudul Alas Cipenggik yang menceritakan Babad Baturraden, pernah dimuat di majalah Sekapur, sebuah majalah sekolah di Denpasar, Bali.
Kegemaran menulisnya sempat terhenti pascapenjaringan CPNS tahun 1987. Karena kesulitan ekonomi dan gagalnya menjadi guru negeri saat itu, ia memilih merantau mengadu nasib ke tanah seberang, tepatnya di Medan, Sumatera Utara pada pertengahan 1988. Setahun kemudian ia pindah ke Padang, Sumatera Barat, bekerja menjadi sopir disebuah perusahaan sewasta. Sang majikan yang mengetahui bahwa Kardjito berlatar belakang pendidikan SPG, menyerahkan anak-anaknya untuk di les. Disini ia merasa menjadi manusia sebab disamping ia sudah mempunyai kesibukan kerja, ia juga cukup membiayai hidup diperantauan bahkan bisa  menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung. Ia banyak belajar dari majikannya yang seorang WNI keturunan itu.
Suatu ketika majikannya berceria tentang perjalanan hidupnya, dari seorang kuli harian hingga berhasil menjadi seorang pengusaha besar. Singkat cerita, sungguh suatu perjalanan yang panjang dan tidak mudah untuk mencapai sukses. Ketika Kardjito mengeluh bahwa dirinya hanyalah seorang sopir yang tidak mempunyai modal apapun untuk berkembang, majikan yang keras namun bijak itu memberinya kuliah.
“Hidup adalah perjuangan. Selagi berjuang orang tidak akan pernah menemukan kesenangan. Jangan pesimis dan jangan berprinsip biar lambat asal selamat, alon-alon asal kelakon. Kami bersemboyan orang sampai awak tibo, cepat dapat lambat ketinggalan. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak?” Itulah kata-kata yang selalu terngiang dibenak kardjito. Namun si sopir itu berteriak dalam hatinya, saya tidak berbakat jadi pengusaha, usia saya sudah 26. Saya butuh uang untuk pulang.         
Setinggi – tinggi bangau terbang, ke kubangan juga ia kembali. Setelah ia merasa telah menjadi ”tua”, pada akhir tahun 1990 ia memutuskan untuk pulang kampung menjadi  guru di daerah sendiri. Awal tahun 1992 ia diangkat menjadi CPNS melalui tambal sulam yang ia ajukan.       
Pada tahun 1994 saat ia baru  menjadi PNS, ia mengikuti lomba geguritan yang diselenggarakan oleh PGRI Cabang Sumbang. Ia memilih judul Kloneng-kloneng pada geguritan yang ia lombakan. Kloneng-kloneng mengisahkan seorang guru SD yang jauh dari tempat tinggalnya. Dalam lomba itu ia  meraih juara pertama. Sejak saat itu pula ia selalu memenangkan setiap kali ada lomba yang sama ditingkat kecamatan.   
Ketika lomba membaca Geguritan Banyumasan diselenggarakan di tingkat Kabupaten Banyumas, Kardjito hanya menjadi juara ketiga. Hal itu membuktikan bahwa Kardjito sudah bisa menulis tapi kurang bisa membaca. Begitulah pengakuan ayah dari dua orang anak itu. Apa lagi pada saat itu ia bersaing dengan Fadjar dari Cilongok, seorang seniman yang dikenal di Kabupaten Banyumas. Saat itu Fadjar-lah yang menjadi juara pertama.
Munculnya buku Nonton Ronggeng, sebuah buku kumpulan geguritan Banyumas karya Wanto Tirta, membuat pengarangnya dijuluki Presiden Geguritan Banyumas oleh kalangan seniman di Kabupaten Banyumas. Dengan berkelekar, salah seorang finalis yang  duduk disebelahnya memanggil Kardjito sebagai Gubernur Geguritan Banyumas, saat pengumuman pemenang Lomba Cipta Geguritan Tahun 2010 tingkat Kabupaten. Dengan enteng Kardjito menjawab bahwa dirinya masih seorang Demang. Semua hadirinpun tertawa. Maklum saja mungkin ia beranggapan bahwa dirinya adalah pendatang baru di dunia Geguritan Banyumasan, kendati karyanya yang berjudul Gumbeng Pring Tali pernah mengantarkan anak didiknya menjadi juara pertama tingkat Propinsi Jawa Tengah.
Dalam lomba Cipta Geguritan, Kardjito berhasil menjadi juara pertama. Ia mendapatkan tropi dan hadiah yang diserahkan langsung oleh H.Taruna, SH dari PGRI Propinsi Jawa Tengah. Sepur Lempung itulah judul geguritan Kardjito, mampu menyisihkan sekitar 120 judul geguritan yang dilombakan pada HUT PGRI ke 65 dan Hari Guru Nasional Tahun 2010.
Apakah Sepur Lempung itu? Tentunya yang namanya sepur atau kereta api dimana-mana terbuat dari besi. Kalaupun itu sepur mainan tentu terbuat dari plastik, seng, ataupun logam lain. Sepur Lempung adalah konotasi dari masa lampau, waktu yang lalu, jaman nenek moyang ataupun jaman dahulu kala. Pada masa itu manusia terbatas dari segala fasilitas. Kebiasaan hidup yang sederhana, orang tua dan anak yang masih lugu, guru yang masih digugu dan ditiru. Semua bertolak belakang dengan era masa kini yang modern. Korupsi sudah bukan   merupakan berita menarik karena sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan.

……………………………………………………………………………….
Jaman sepur lempung
Sarapane sega jagung
Lawuh kluban lembayung
Monjo-monjone godhogan kangkung
Ora kebek seperes cemung
………………………………………………………………..
……………………………………………………………………
Jaman sepur lempung
Ora mung jamane wong sing urip neng dhuwur
Wong cilik sing rekasa gelem uwur sing sugih dawa tangane mripate blawuk lamur

Nilep pajeg rakyat jere nutur
Sekethip kena nggo plesir maring Singgapur ping selikur
Wis tlikur tambah ngawur……..

Cuplikan geguritan diatas sudah jelas menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan. Bahasa yang ngapak dan lucu menurut pengguna bahasa Jawa lain. Kengapakan itu yang menyebabkan barangkali sebagian anak muda sekarang enggan dan gengsi menggunakan bahasanya sendiri, norak bin kampungan.
Sedangkan Gumbeng Pring Tali menggunakan bahasa Jawa standar. Yogya atau Solo Kardjito sendiri tidak begitu memahaminya. Gumbeng Pring Tali menyoroti tentang budaya tradisional berupa alat musik gumbeng yang dulu merupakan salah satu alat musik yang digemari oleh kalangan masyarakat pedesaan. Namun gumbeng sekarang menghilang bahkan anak muda tidak tahu dan barangkali tidak akan pernah melihatnya lagi.

Ing sore nalika angin gegojegan karo srengenge
Ing tegalan tanah rata padhang sesuketan
Keprungu swara gumbeng pring tali
Nyumbang wara-wara
Kahanan ganti ora bakal lali
…………………………………………………………………..
Ting tung ting brung iwak ayam….
Sega jagung ora doyan…..
Munggah gunung isih awan…

Ting tung ting brung iki
Crita si embah jaman samana
Saiki wis diganti swarane ring tone lan orgen tunggal
Kang ngebaki angkasa

Gumbeng pring tali
Nyumbang wara-wara
Ning saiki wis padha lali
Rata-rata geguritan karya Kardjito menggunakan kata-kata lugas, bahasa yang mudah dicerna dan sederhana. Ia tidak akan menulis dengan kata-kata dan bahasa tinggi yang bahkan dia sendiri tidak tahu artinya. Menurut pengakuannya,  ia sering membuka kamus bahasa jawa dan selalu konsultasi dengan teman senior yang lebih tahu tentang bahasa wetan saat menulis geguritan. Tidak jarang ia salah dalam mengucapkan atau membacakan geguritan karyanya sendiri. Misalnya kata takwa dibaca takwo, sepedha dibaca sepedho. Namun itu pula yang kadang menjadi lucu dan menarik seperti ketika Kardjito membacakan Sepur Lempung pada acara resepsi HUT PGRI tahun 2010 di gedung PGRI Sokaraja. Dengan berpakaian adat Banyumas ia mulai membaca baris demi baris dengan lancar. Tetapi tiba-tiba ia tertawa dan berteriak keras, “Ha….ha…ha…., salah, salah. Eh, kadaran ora denile ikih ya….. Mari kita lanjut!” Diapun kembali serius kepada tek dan meneruskan hingga selesai dengan iringan gelak tawa semua yang hadir.
Apa yang dilakukan seorang Kardjito bukan hal yang sulit dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Semua guru tentu bisa geguritan. Geguritan merupakan materi yang harus diajarkan kepada siswa. Hal senada disampaikan oleh Kardjito ketika ia ditanya seorang rekannya tentang apakah ia akan membukukan kumpulan geguritannya mengingat telah banyak geguritan yang ia buat.
“Saya bisa menulis geguritan itu sudah cukup untuk bekal dan modal saya mengajar materi itu kepada siswa. Saya juga tidak berharap banyak dari siswa saya untuk menjadi juara ketika ada lomba. Tetapi keinginan saya bahwa geguritan harus dikenalkan dan diajarkan kepada siswa dan mereka harus bisa sehingga geguritan tetap eksis dan hidup, tidak hilang terkikis oleh waktu. Siapa lagi kalau bukan seorang guru yang harus melakukan semua itu?”
Rencananya Kardjito sudah tidak akan mengikuti lomba serupa pada tahun-tahun yang akan datang yang diselenggarakan oleh institusi formal. Ia akan memberi kesempatan kepada teman-teman untuk mengembangkan dan menyalurkan minat dan bakatnya.
Menurutnya, menulis geguritan sungguh mengasyikan sama halnya menulis puisi dan karya sastra lain. Meski menurut pendapat sebagian kalangan bahwa sesuatu bisa berkembang karena bakat, tetapi menurutnya bahwa sastra setiap orang pasti bisa. Semua kembali kepada tertarik dan tidaknya yang bersangkutan terhadap materi tersebut serta kemauan. Kardjito-pun menyitir filosofi seorang petani yang sukses dibidangnya dan kini menjadi seorang  milyader. Bob Sadino si Penggembala sapi ternaknya yang berjumlah ribuan ekor di padang rumput  ratusan hektar miliknya. Berusaha tidak sempurna jauh lebih baik daripada tidak berusaha dengan sempurna.

JUARA 1 CIPTA GEGURITAN PGRI BANYUMAS

MATERI GEGURITAN 2010
Dening: Kang Kardjito


Ajar Waskitha  

Muridku,
Sadurunge kowe mukti
Ngundhuh wohing pakarti
Bisa nglungguhi kursi dhampar kamulyan
Ombenen tirta paweling winisuda

Sinaua marang lakune wulan lan bagaskara
Kang ora wedi kesel tansah ngirim pepadhang

Sinaua marang rukune kartika lan gegana
Kang ora bosen gawe endah sesawangan

Ngajia marang kasetyane rina lan wengi
Kang gumati ngati ati
Ora nate geseh menehi titi wanci

Muridku,
Mlakua mangulon
Tututana lakuning srengenge
Mumpung isih padhang
Singkirna kabeh pepalang
Kukuden mungsuh bebuyutane wanara
Kang mbiyen nate mboyong Dewi Shinta
Ngasorake Prabu Rama
Dene sorot katutup wana kalinglingan arga
Manjing ing dhasar samudra
Iku wis dadi samesthine

Muridku,
Mlakua mangetan
Pethuken lakune rembulan
Ing wengi iki
Wasuhen sukmamu nganggo iman lan takwa
Lungguh sila khusu lan tafakur

Ajar waskitha
Marang umah balimu
Panggonanmu saiki
Panggonanmu mbesuk




Si Mbah Uga Manungsa

Ing ari anggara jenar
Wanci suruping bagaskara
Surya kaping nemlikur rongewu sepuluh
Ing tapel wates tanah nggunuk
Wedhus gembel ngamuk
Bareng karo bledug awu anget
Nyapu ereng ereng wana
Kiwa lan tengen
Ngluluhake Kinah Rejo saisine
Ing Cangkringan
Padhukuhan pucuking Sleman

Ing ari anggara jenar
Wanci suruping bagaskara
Surya kaping nemlikur rongewu sepuluh
Merapi njeblug ………
Ngukut umah kuncen Mbah Marijan
Tumpes…..
Ndadekake udan luh
Grimis tangis
Banjir getih
Nggegirisi……….

Kanthi pasrah lan sujud
Mbah Marijan milih kondur
Ngadep ing ngarsane Gusti
Nyawiji rohing Merapi

Kabeh mau mbuktekake sawijining kasunyatan
Dene ngelmu ilmiah ing pawiyatan luhur
Bisa ngasorake ati kang atos ngluwihi waja

Ora ana sing salah
Kabeh bisa seleh
Si mbah uga manungsa
Urip iki pindhane wayang
Ana sing nganggit
Ana sing nata

(Hasbunallah wa ni`mal wakil
Ni`mal maula wa ni`man nashir)*



* Artinya: Cukuplah bagi kami Allah menjadi Tuhan kami dan Dialah sebaik baik wakil atau yang membereskan urusan,Dialah sebaik-baik pemimpin dan penolong.

Aku Dudu Pujangga

Wengi kemulan pedhut
Peteng ndhedhet lelimengan
Angin nggawa grimis ngirim udan
Adhem nyokot kulit tumus daging

Ing wanci gagat raina
Aku isih angon ngumbar angen-angen
Apa sing bakal dak sumbangake
Sawise mletheking bagaskara (?)

Aku dudu pujangga
Kang wasis ngukir gurit
Ngrakit ukara

Aku uga dudu maestro
Kang trampil ngracik tembung
Ngripta tembang
Mawa basa rinengga

Aku dudu dhalang
Kang bisa ngudhal piwulang
Kanthi piranti kelir lan wayang

Aku uga dudu dhukun
Kang bisa ngusadani lelara
Sebel lan puyeng
Kanthi jopa japu japa mantra

Aku iki hamung rayat
Dadi rewang sanak kadang sabrayat
Nadyan upet kari sagebyaran
Muga-muga bisa migunani
Gawe bungah ati liyan

Aku iki hamung pamong
Tukang momong anak uwong
Nadyan damar kari saklerapan
Sapa ngerti bisa gawe padhang
Anak putu sanak kadang

GEGURITAN BANYUMAS

GUMBENG PRING TALI
Dening: KARDJITO

ING SORE……………….
NALIKA  ANGIN GEGOJEGAN KARO SRENGENGE
ING TEGALAN TANAH RATA  PADHANG SESUKETAN
KEPRUNGU SWARA GUMBENG PRING TALI
NYUMBANG WARA-WARA
KAHANAN GANTI ORA BAKAL LALI
ING WENGI…………………….
NALIKA  REMBULAN GEGOJEGAN KARO LINTANG
ING UMAH LAN PEDANGAN
KEPRUNGU KIDUNG TENGAH WENGI
KAIRING GUMBENG PRING TALI
NYUMBANG WARA--WARA
KAHANAN GANTI ORA BAKAL LALI
ING ESUK…………………………
NALIKA  EMBUN GEGOJEGAN KARO PEDHUT
ING PINGGIR SAWAH
ESIH KEPRUNGU SWARA GUMBENG PRING TALI
NADYAN LIRIH MERAK ATI
TING TUNG TING BRUNG IWAK AYAM….. (tembang)
SEGA JAGUNG ORA DOYAN……
MANJAT GUNUNG OLIH PRAWAN……
TING TUNG TING BRUNG IKI
CRITA  SI MBAH JAMAN SAMANA
SAIKI WIS DIGANTI
SWARANE RING TONE LAN ORGEN TUNGGGAL
KANG NGEBAKI ANGKASA
GUMBENG PRING TALI
NYUMBANG WARA-WARA
NING SAIKI WIS PADHA  LALI