Selasa, 27 Januari 2015

BEST PRATICE

KEJUARAAN SEBAGAI SALAH SATU BEKAL MENGAJAR
Oleh: Bajigur Kardjit

Semua biasa saja. Itulah kalimat yang tepat untuk mengawali kisah seorang guru SD ini. Tidak ada kelebihan yang menonjol pada diri seorang guru yang bernama Kardjito yang kini mengajar di SD Negeri 1 Kotayasa, UPK Sumbang, Kabupaten Banyumas. Ia tidak termasuk guru berprestasi sebab kendati ia lulusan sekolah guru tahun 1985, sampai sekarang belum memiliki sertifikat mengajar. Artinya ia tidak terlalu istimewa dibanding dengan yang lain.
Semenjak remaja ia mempunyai hobi menulis. Ia sering mengisi rubrik Gelanggang Remaja pada koran SKM. Sesekali berpuisi dibeberapa acara resepsi baik di sekolah maupun diluar sekolah. Ia pernah menjadi juara tiga pada lomba lawak yang diselenggarakan oleh Pusat Penerangan Masyarakat (PUSPENMAS) Kabupaten Banyumas. Pada tahun 1982 bersama rekannya ia mendirikan group lawak yang berjalan hingga tahun 1988. Kendati mereka tidak begitu dikenal oleh masyarakat pada saat itu, mereka sering pentas di beberapa tempat di Purwokerto. Artikelnya yang berjudul Alas Cipenggik yang menceritakan Babad Baturraden, pernah dimuat di majalah Sekapur, sebuah majalah sekolah di Denpasar, Bali.
Kegemaran menulisnya sempat terhenti pascapenjaringan CPNS tahun 1987. Karena kesulitan ekonomi dan gagalnya menjadi guru negeri saat itu, ia memilih merantau mengadu nasib ke tanah seberang, tepatnya di Medan, Sumatera Utara pada pertengahan 1988. Setahun kemudian ia pindah ke Padang, Sumatera Barat, bekerja menjadi sopir disebuah perusahaan sewasta. Sang majikan yang mengetahui bahwa Kardjito berlatar belakang pendidikan SPG, menyerahkan anak-anaknya untuk di les. Disini ia merasa menjadi manusia sebab disamping ia sudah mempunyai kesibukan kerja, ia juga cukup membiayai hidup diperantauan bahkan bisa  menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung. Ia banyak belajar dari majikannya yang seorang WNI keturunan itu.
Suatu ketika majikannya berceria tentang perjalanan hidupnya, dari seorang kuli harian hingga berhasil menjadi seorang pengusaha besar. Singkat cerita, sungguh suatu perjalanan yang panjang dan tidak mudah untuk mencapai sukses. Ketika Kardjito mengeluh bahwa dirinya hanyalah seorang sopir yang tidak mempunyai modal apapun untuk berkembang, majikan yang keras namun bijak itu memberinya kuliah.
“Hidup adalah perjuangan. Selagi berjuang orang tidak akan pernah menemukan kesenangan. Jangan pesimis dan jangan berprinsip biar lambat asal selamat, alon-alon asal kelakon. Kami bersemboyan orang sampai awak tibo, cepat dapat lambat ketinggalan. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak?” Itulah kata-kata yang selalu terngiang dibenak kardjito. Namun si sopir itu berteriak dalam hatinya, saya tidak berbakat jadi pengusaha, usia saya sudah 26. Saya butuh uang untuk pulang.         
Setinggi – tinggi bangau terbang, ke kubangan juga ia kembali. Setelah ia merasa telah menjadi ”tua”, pada akhir tahun 1990 ia memutuskan untuk pulang kampung menjadi  guru di daerah sendiri. Awal tahun 1992 ia diangkat menjadi CPNS melalui tambal sulam yang ia ajukan.       
Pada tahun 1994 saat ia baru  menjadi PNS, ia mengikuti lomba geguritan yang diselenggarakan oleh PGRI Cabang Sumbang. Ia memilih judul Kloneng-kloneng pada geguritan yang ia lombakan. Kloneng-kloneng mengisahkan seorang guru SD yang jauh dari tempat tinggalnya. Dalam lomba itu ia  meraih juara pertama. Sejak saat itu pula ia selalu memenangkan setiap kali ada lomba yang sama ditingkat kecamatan.   
Ketika lomba membaca Geguritan Banyumasan diselenggarakan di tingkat Kabupaten Banyumas, Kardjito hanya menjadi juara ketiga. Hal itu membuktikan bahwa Kardjito sudah bisa menulis tapi kurang bisa membaca. Begitulah pengakuan ayah dari dua orang anak itu. Apa lagi pada saat itu ia bersaing dengan Fadjar dari Cilongok, seorang seniman yang dikenal di Kabupaten Banyumas. Saat itu Fadjar-lah yang menjadi juara pertama.
Munculnya buku Nonton Ronggeng, sebuah buku kumpulan geguritan Banyumas karya Wanto Tirta, membuat pengarangnya dijuluki Presiden Geguritan Banyumas oleh kalangan seniman di Kabupaten Banyumas. Dengan berkelekar, salah seorang finalis yang  duduk disebelahnya memanggil Kardjito sebagai Gubernur Geguritan Banyumas, saat pengumuman pemenang Lomba Cipta Geguritan Tahun 2010 tingkat Kabupaten. Dengan enteng Kardjito menjawab bahwa dirinya masih seorang Demang. Semua hadirinpun tertawa. Maklum saja mungkin ia beranggapan bahwa dirinya adalah pendatang baru di dunia Geguritan Banyumasan, kendati karyanya yang berjudul Gumbeng Pring Tali pernah mengantarkan anak didiknya menjadi juara pertama tingkat Propinsi Jawa Tengah.
Dalam lomba Cipta Geguritan, Kardjito berhasil menjadi juara pertama. Ia mendapatkan tropi dan hadiah yang diserahkan langsung oleh H.Taruna, SH dari PGRI Propinsi Jawa Tengah. Sepur Lempung itulah judul geguritan Kardjito, mampu menyisihkan sekitar 120 judul geguritan yang dilombakan pada HUT PGRI ke 65 dan Hari Guru Nasional Tahun 2010.
Apakah Sepur Lempung itu? Tentunya yang namanya sepur atau kereta api dimana-mana terbuat dari besi. Kalaupun itu sepur mainan tentu terbuat dari plastik, seng, ataupun logam lain. Sepur Lempung adalah konotasi dari masa lampau, waktu yang lalu, jaman nenek moyang ataupun jaman dahulu kala. Pada masa itu manusia terbatas dari segala fasilitas. Kebiasaan hidup yang sederhana, orang tua dan anak yang masih lugu, guru yang masih digugu dan ditiru. Semua bertolak belakang dengan era masa kini yang modern. Korupsi sudah bukan   merupakan berita menarik karena sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan.

……………………………………………………………………………….
Jaman sepur lempung
Sarapane sega jagung
Lawuh kluban lembayung
Monjo-monjone godhogan kangkung
Ora kebek seperes cemung
………………………………………………………………..
……………………………………………………………………
Jaman sepur lempung
Ora mung jamane wong sing urip neng dhuwur
Wong cilik sing rekasa gelem uwur sing sugih dawa tangane mripate blawuk lamur

Nilep pajeg rakyat jere nutur
Sekethip kena nggo plesir maring Singgapur ping selikur
Wis tlikur tambah ngawur……..

Cuplikan geguritan diatas sudah jelas menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan. Bahasa yang ngapak dan lucu menurut pengguna bahasa Jawa lain. Kengapakan itu yang menyebabkan barangkali sebagian anak muda sekarang enggan dan gengsi menggunakan bahasanya sendiri, norak bin kampungan.
Sedangkan Gumbeng Pring Tali menggunakan bahasa Jawa standar. Yogya atau Solo Kardjito sendiri tidak begitu memahaminya. Gumbeng Pring Tali menyoroti tentang budaya tradisional berupa alat musik gumbeng yang dulu merupakan salah satu alat musik yang digemari oleh kalangan masyarakat pedesaan. Namun gumbeng sekarang menghilang bahkan anak muda tidak tahu dan barangkali tidak akan pernah melihatnya lagi.

Ing sore nalika angin gegojegan karo srengenge
Ing tegalan tanah rata padhang sesuketan
Keprungu swara gumbeng pring tali
Nyumbang wara-wara
Kahanan ganti ora bakal lali
…………………………………………………………………..
Ting tung ting brung iwak ayam….
Sega jagung ora doyan…..
Munggah gunung isih awan…

Ting tung ting brung iki
Crita si embah jaman samana
Saiki wis diganti swarane ring tone lan orgen tunggal
Kang ngebaki angkasa

Gumbeng pring tali
Nyumbang wara-wara
Ning saiki wis padha lali
Rata-rata geguritan karya Kardjito menggunakan kata-kata lugas, bahasa yang mudah dicerna dan sederhana. Ia tidak akan menulis dengan kata-kata dan bahasa tinggi yang bahkan dia sendiri tidak tahu artinya. Menurut pengakuannya,  ia sering membuka kamus bahasa jawa dan selalu konsultasi dengan teman senior yang lebih tahu tentang bahasa wetan saat menulis geguritan. Tidak jarang ia salah dalam mengucapkan atau membacakan geguritan karyanya sendiri. Misalnya kata takwa dibaca takwo, sepedha dibaca sepedho. Namun itu pula yang kadang menjadi lucu dan menarik seperti ketika Kardjito membacakan Sepur Lempung pada acara resepsi HUT PGRI tahun 2010 di gedung PGRI Sokaraja. Dengan berpakaian adat Banyumas ia mulai membaca baris demi baris dengan lancar. Tetapi tiba-tiba ia tertawa dan berteriak keras, “Ha….ha…ha…., salah, salah. Eh, kadaran ora denile ikih ya….. Mari kita lanjut!” Diapun kembali serius kepada tek dan meneruskan hingga selesai dengan iringan gelak tawa semua yang hadir.
Apa yang dilakukan seorang Kardjito bukan hal yang sulit dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Semua guru tentu bisa geguritan. Geguritan merupakan materi yang harus diajarkan kepada siswa. Hal senada disampaikan oleh Kardjito ketika ia ditanya seorang rekannya tentang apakah ia akan membukukan kumpulan geguritannya mengingat telah banyak geguritan yang ia buat.
“Saya bisa menulis geguritan itu sudah cukup untuk bekal dan modal saya mengajar materi itu kepada siswa. Saya juga tidak berharap banyak dari siswa saya untuk menjadi juara ketika ada lomba. Tetapi keinginan saya bahwa geguritan harus dikenalkan dan diajarkan kepada siswa dan mereka harus bisa sehingga geguritan tetap eksis dan hidup, tidak hilang terkikis oleh waktu. Siapa lagi kalau bukan seorang guru yang harus melakukan semua itu?”
Rencananya Kardjito sudah tidak akan mengikuti lomba serupa pada tahun-tahun yang akan datang yang diselenggarakan oleh institusi formal. Ia akan memberi kesempatan kepada teman-teman untuk mengembangkan dan menyalurkan minat dan bakatnya.
Menurutnya, menulis geguritan sungguh mengasyikan sama halnya menulis puisi dan karya sastra lain. Meski menurut pendapat sebagian kalangan bahwa sesuatu bisa berkembang karena bakat, tetapi menurutnya bahwa sastra setiap orang pasti bisa. Semua kembali kepada tertarik dan tidaknya yang bersangkutan terhadap materi tersebut serta kemauan. Kardjito-pun menyitir filosofi seorang petani yang sukses dibidangnya dan kini menjadi seorang  milyader. Bob Sadino si Penggembala sapi ternaknya yang berjumlah ribuan ekor di padang rumput  ratusan hektar miliknya. Berusaha tidak sempurna jauh lebih baik daripada tidak berusaha dengan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar