KEJUARAAN SEBAGAI SALAH SATU BEKAL MENGAJAR
Oleh: Bajigur Kardjit
Semua
biasa saja. Itulah kalimat yang tepat untuk mengawali kisah seorang
guru SD ini. Tidak ada kelebihan yang menonjol pada diri seorang guru
yang bernama Kardjito yang kini mengajar di SD Negeri 1 Kotayasa, UPK
Sumbang, Kabupaten Banyumas. Ia tidak termasuk guru berprestasi sebab
kendati ia lulusan sekolah guru tahun 1985, sampai sekarang belum
memiliki sertifikat mengajar. Artinya ia tidak terlalu istimewa
dibanding dengan yang lain.
Semenjak
remaja ia mempunyai hobi menulis. Ia sering mengisi rubrik Gelanggang
Remaja pada koran SKM. Sesekali berpuisi dibeberapa acara resepsi baik
di sekolah maupun diluar sekolah. Ia pernah menjadi juara tiga pada
lomba lawak yang diselenggarakan oleh Pusat Penerangan Masyarakat
(PUSPENMAS) Kabupaten Banyumas. Pada tahun 1982 bersama rekannya ia
mendirikan group lawak yang berjalan hingga tahun 1988. Kendati mereka
tidak begitu dikenal oleh masyarakat pada saat itu, mereka sering pentas
di beberapa tempat di Purwokerto. Artikelnya yang berjudul Alas Cipenggik yang menceritakan Babad Baturraden, pernah dimuat di majalah Sekapur, sebuah majalah sekolah di Denpasar, Bali.
Kegemaran
menulisnya sempat terhenti pascapenjaringan CPNS tahun 1987. Karena
kesulitan ekonomi dan gagalnya menjadi guru negeri saat itu, ia memilih
merantau mengadu nasib ke tanah seberang, tepatnya di Medan, Sumatera
Utara pada pertengahan 1988. Setahun kemudian ia pindah ke Padang,
Sumatera Barat, bekerja menjadi sopir disebuah perusahaan sewasta. Sang
majikan yang mengetahui bahwa Kardjito berlatar belakang pendidikan SPG,
menyerahkan anak-anaknya untuk di les. Disini ia merasa menjadi manusia sebab
disamping ia sudah mempunyai kesibukan kerja, ia juga cukup membiayai
hidup diperantauan bahkan bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk
ditabung. Ia banyak belajar dari majikannya yang seorang WNI keturunan
itu.
Suatu
ketika majikannya berceria tentang perjalanan hidupnya, dari seorang
kuli harian hingga berhasil menjadi seorang pengusaha besar. Singkat
cerita, sungguh suatu perjalanan yang panjang dan tidak mudah untuk
mencapai sukses. Ketika Kardjito mengeluh bahwa dirinya hanyalah seorang
sopir yang tidak mempunyai modal apapun untuk berkembang, majikan yang
keras namun bijak itu memberinya kuliah.
“Hidup adalah perjuangan. Selagi berjuang orang tidak akan pernah menemukan kesenangan. Jangan pesimis dan jangan berprinsip biar lambat asal selamat, alon-alon asal kelakon. Kami bersemboyan orang sampai awak tibo, cepat dapat lambat ketinggalan. Kalau
orang lain bisa, kenapa saya tidak?” Itulah kata-kata yang selalu
terngiang dibenak kardjito. Namun si sopir itu berteriak dalam hatinya,
saya tidak berbakat jadi pengusaha, usia saya sudah 26. Saya butuh uang
untuk pulang.
Setinggi
– tinggi bangau terbang, ke kubangan juga ia kembali. Setelah ia merasa
telah menjadi ”tua”, pada akhir tahun 1990 ia memutuskan untuk pulang
kampung menjadi guru di daerah sendiri. Awal tahun 1992 ia diangkat
menjadi CPNS melalui tambal sulam yang ia ajukan.
Pada
tahun 1994 saat ia baru menjadi PNS, ia mengikuti lomba geguritan yang
diselenggarakan oleh PGRI Cabang Sumbang. Ia memilih judul Kloneng-kloneng pada geguritan yang ia lombakan. Kloneng-kloneng mengisahkan
seorang guru SD yang jauh dari tempat tinggalnya. Dalam lomba itu ia
meraih juara pertama. Sejak saat itu pula ia selalu memenangkan setiap
kali ada lomba yang sama ditingkat kecamatan.
Ketika
lomba membaca Geguritan Banyumasan diselenggarakan di tingkat Kabupaten
Banyumas, Kardjito hanya menjadi juara ketiga. Hal itu membuktikan
bahwa Kardjito sudah bisa menulis tapi kurang bisa membaca. Begitulah
pengakuan ayah dari dua orang anak itu. Apa lagi pada saat itu ia
bersaing dengan Fadjar dari Cilongok, seorang seniman yang dikenal di
Kabupaten Banyumas. Saat itu Fadjar-lah yang menjadi juara pertama.
Munculnya buku Nonton Ronggeng,
sebuah buku kumpulan geguritan Banyumas karya Wanto Tirta, membuat
pengarangnya dijuluki Presiden Geguritan Banyumas oleh kalangan seniman
di Kabupaten Banyumas. Dengan berkelekar, salah seorang finalis yang
duduk disebelahnya memanggil Kardjito sebagai Gubernur Geguritan
Banyumas, saat pengumuman pemenang Lomba Cipta Geguritan Tahun 2010
tingkat Kabupaten. Dengan enteng Kardjito menjawab bahwa dirinya
masih seorang Demang. Semua hadirinpun tertawa. Maklum saja mungkin ia
beranggapan bahwa dirinya adalah pendatang baru di dunia Geguritan
Banyumasan, kendati karyanya yang berjudul Gumbeng Pring Tali pernah mengantarkan anak didiknya menjadi juara pertama tingkat Propinsi Jawa Tengah.
Dalam
lomba Cipta Geguritan, Kardjito berhasil menjadi juara pertama. Ia
mendapatkan tropi dan hadiah yang diserahkan langsung oleh H.Taruna, SH
dari PGRI Propinsi Jawa Tengah. Sepur Lempung itulah judul
geguritan Kardjito, mampu menyisihkan sekitar 120 judul geguritan yang
dilombakan pada HUT PGRI ke 65 dan Hari Guru Nasional Tahun 2010.
Apakah Sepur Lempung
itu? Tentunya yang namanya sepur atau kereta api dimana-mana terbuat
dari besi. Kalaupun itu sepur mainan tentu terbuat dari plastik, seng,
ataupun logam lain. Sepur Lempung adalah konotasi dari masa lampau,
waktu yang lalu, jaman nenek moyang ataupun jaman dahulu kala. Pada masa
itu manusia terbatas dari segala fasilitas. Kebiasaan hidup yang
sederhana, orang tua dan anak yang masih lugu, guru yang masih digugu dan ditiru. Semua
bertolak belakang dengan era masa kini yang modern. Korupsi sudah
bukan merupakan berita menarik karena sudah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan.
……………………………………………………………………………….
Jaman sepur lempung
Sarapane sega jagung
Lawuh kluban lembayung
Monjo-monjone godhogan kangkung
Ora kebek seperes cemung
………………………………………………………………..
……………………………………………………………………
Jaman sepur lempung
Ora mung jamane wong sing urip neng dhuwur
Wong cilik sing rekasa gelem uwur sing sugih dawa tangane mripate blawuk lamur
Nilep pajeg rakyat jere nutur
Sekethip kena nggo plesir maring Singgapur ping selikur
Wis tlikur tambah ngawur……..
Cuplikan geguritan diatas sudah jelas menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan. Bahasa yang ngapak dan lucu
menurut pengguna bahasa Jawa lain. Kengapakan itu yang menyebabkan
barangkali sebagian anak muda sekarang enggan dan gengsi menggunakan
bahasanya sendiri, norak bin kampungan.
Sedangkan Gumbeng Pring Tali
menggunakan bahasa Jawa standar. Yogya atau Solo Kardjito sendiri tidak
begitu memahaminya. Gumbeng Pring Tali menyoroti tentang budaya
tradisional berupa alat musik gumbeng yang dulu merupakan salah satu
alat musik yang digemari oleh kalangan masyarakat pedesaan. Namun
gumbeng sekarang menghilang bahkan anak muda tidak tahu dan barangkali
tidak akan pernah melihatnya lagi.
Ing sore nalika angin gegojegan karo srengenge
Ing tegalan tanah rata padhang sesuketan
Keprungu swara gumbeng pring tali
Nyumbang wara-wara
Kahanan ganti ora bakal lali
…………………………………………………………………..
Ting tung ting brung iwak ayam….
Sega jagung ora doyan…..
Munggah gunung isih awan…
Ting tung ting brung iki
Crita si embah jaman samana
Saiki wis diganti swarane ring tone lan orgen tunggal
Kang ngebaki angkasa
Gumbeng pring tali
Nyumbang wara-wara
Ning saiki wis padha lali
Rata-rata
geguritan karya Kardjito menggunakan kata-kata lugas, bahasa yang mudah
dicerna dan sederhana. Ia tidak akan menulis dengan kata-kata dan
bahasa tinggi yang bahkan dia sendiri tidak tahu artinya. Menurut
pengakuannya, ia sering membuka kamus bahasa jawa dan selalu
konsultasi dengan teman senior yang lebih tahu tentang bahasa wetan
saat menulis geguritan. Tidak jarang ia salah dalam mengucapkan atau
membacakan geguritan karyanya sendiri. Misalnya kata takwa dibaca takwo,
sepedha dibaca sepedho. Namun itu pula yang kadang menjadi lucu dan
menarik seperti ketika Kardjito membacakan Sepur Lempung pada acara
resepsi HUT PGRI tahun 2010 di gedung PGRI Sokaraja. Dengan berpakaian
adat Banyumas ia mulai membaca baris demi baris dengan lancar. Tetapi
tiba-tiba ia tertawa dan berteriak keras, “Ha….ha…ha…., salah, salah.
Eh, kadaran ora denile ikih ya….. Mari kita lanjut!” Diapun kembali
serius kepada tek dan meneruskan hingga selesai dengan iringan gelak
tawa semua yang hadir.
Apa
yang dilakukan seorang Kardjito bukan hal yang sulit dan tidak bisa
dilakukan oleh orang lain. Semua guru tentu bisa geguritan. Geguritan
merupakan materi yang harus diajarkan kepada siswa. Hal senada
disampaikan oleh Kardjito ketika ia ditanya seorang rekannya tentang
apakah ia akan membukukan kumpulan geguritannya mengingat telah banyak
geguritan yang ia buat.
“Saya
bisa menulis geguritan itu sudah cukup untuk bekal dan modal saya
mengajar materi itu kepada siswa. Saya juga tidak berharap banyak dari
siswa saya untuk menjadi juara ketika ada lomba. Tetapi keinginan saya
bahwa geguritan harus dikenalkan dan diajarkan kepada siswa dan mereka
harus bisa sehingga geguritan tetap eksis dan hidup, tidak hilang
terkikis oleh waktu. Siapa lagi kalau bukan seorang guru yang harus
melakukan semua itu?”
Rencananya
Kardjito sudah tidak akan mengikuti lomba serupa pada tahun-tahun yang
akan datang yang diselenggarakan oleh institusi formal. Ia akan memberi
kesempatan kepada teman-teman untuk mengembangkan dan menyalurkan minat
dan bakatnya.
Menurutnya,
menulis geguritan sungguh mengasyikan sama halnya menulis puisi dan
karya sastra lain. Meski menurut pendapat sebagian kalangan bahwa
sesuatu bisa berkembang karena bakat, tetapi menurutnya bahwa sastra
setiap orang pasti bisa. Semua kembali kepada tertarik dan tidaknya yang
bersangkutan terhadap materi tersebut serta kemauan. Kardjito-pun
menyitir filosofi seorang petani yang sukses dibidangnya dan kini
menjadi seorang milyader. Bob Sadino si Penggembala sapi ternaknya yang berjumlah ribuan ekor di padang rumput ratusan hektar miliknya. Berusaha tidak sempurna jauh lebih baik daripada tidak berusaha dengan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar