Selasa, 27 Januari 2015

LEGENDA GUNUNG GABER

Legenda GUNUNG GABER
Versi Bajigur Kardjit

      Selepas senja petang itu tampak bulan merah muncul di kaki langit di puncak bukit. Malam yang beberapa hari terakhir ini  tampak redup, samar karena gelap berbaur cahaya bulan, kini cerah bagai di senja hari. Bahkan lebih indah karena langit dihiasi jutaan bintang yang seakan berkedip tertiup angin. Indah tak terperikan. Saat-saat seperti ini biasa dimanfaatkan oleh seluruh warga kampung untuk bercengkerama bersama kerabat dan tetangga di padang rumput di sudut kampung. Orang tua membawa anak-anak mereka untuk bermain petak umpet, sebagian anak yang menginjak remaja bernyanyi-nyanyi sambil sesekali berbincang tentang masa depan mereka. Para orang tua duduk-duduk memperbincangkan banyak hal termasuk ladang-ladang ubi mereka yang kini telah berumur dan siap untuk dipanen. Sesekali terdengar kidung asmarandana dari dalam gubug berpelita lentera tak jauh dari tempat mereka berkerumun.
      Malam kian larut, udara semakin dingin. Satu persatu para orang tua mengajak anaknya untuk pulang ke rumah masing-masing. Kebanyakan mereka langsung tidur, namun beberapa orang yang lebih tua memilih untuk duduk di depan tungku di dapur untuk memasak air atau membakar pala pendem buat nyamikan hingga menjelang tengah malam. Sesaat kemudian suasana malam kembali sepi. Mereka tertidur pulas dengan mimpi mereka masing-masing.
      Menjelang fajar mereka telah tebangun dan sibuk dengan aktifitas rutinnya. Para ibu sibuk di dapur sedang para bapak pergi ke ladang. Sebagian anak laki-laki mengikuti orang tua membantu di ladang, sebagian lagi ada yang langsung bertemu kawan-kawannya pergi ke hutan mencari kayu bakar. Kebanyakan anak perempuan sibuk di sungai kecil di lembah untuk mencuci pakaian dan peralatan dapur. Aktifitas yang tak terjadwal itu rutin dilakukan tanpa beban. Menjelang siang  kadang mereka pulang dari ladang, namun banyak yang harus dikirimi makanan oleh istri atau anak mereka ke ladang.
      Malam kedua kembali terang benderang. Merekapun berkumpul lagi seperti malam sebelumnya, bersendaugurau sambil menikmati malam yang penuh bintang dan sinar bulan. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan menghilangnya sebagian bintang yang tengah mereka pandangi. Tidak lama kemudian semua bintang menghilang tak satupun tersisa. Sinar bulanpun mulai meredup hingga malam yang seharusnya adalah purnama kini gelap gulita. Bukan karena langit berkabut atau malam mau turun hujan, bukan pula raksasa Gerhana yang tengah kelaparan memakan bulan. Lalu apa gerangan yang telah terjadi malam itu?
      Namanya Putri Gerlipa yang mendiami kadipaten Gerlimut adalah seorang puteri yang cantik jelita. Tak heran banyak lelaki yang tergila-gila kepadanya. Karena banyaknya lelaki yang ingin meminang menjadikannya istri, maka Putri  Gerlipa mengajukan persyaratan bagi calon pendampingnya berupa sayembara. Bagi para pelamar diminta untuk membawa untaian manik-manik yang terbuat bukan dari berlian batu permata, tapi terbuat dari seribu bintang. Mendengar permintaan Sang Putri, maka para lelaki yang ingin mendapatkan Sang Putri, mengikuti sayembara tersebut. Dengan berbagai upaya mereka beradu cepat dengan harapan bisa mendapatkan bintang-bintang di langit, mengumpulkannya hingga seribu buah dan diuntai menjadi manik-manik yang akan dipersembahkan kepada Sang Putri. Namun tidak sedikit dari mereka yang pasrah dan memilih mundur dari kompetisi itu. Mereka hanya mengumpat dan bergumam, “Kenapa harus dari bintang.....bukan dari kunang-kunang?”
      Singkat cerita tinggallah dua pria perkasa yaitu Kebo Gumulung dan Grandong yang mampu  bersaing berebut bintang. Mereka sibuk memetiki bintang dengan menggunakan puncak Gunung Slamet sebagai tumpuan hingga tangannya mampu menggapai bintang yang bertaburan di langit. Diambilnya satu demi satu, dimasukannya kedalam kantong yang dibuat sedemikian rupa. Kadang beberapa buah bintang itu terjatuh ke kaki gunung, dan itu akan menjadi rebutan ratusan pria dibawahnya. Kebo Gumulung dan Grandong saling berebut hingga menjadikan pertikaian. Mereka saling pukul dan saling serang. Kalah dalam perkelahian, Kebo Gumulung terlempar jatuh ke lembah. Tinggalah Grandong sendirian tanpa ada pesaing untuk mempersunting Putri Gerlipa. Dibenaknya hanya ada wajah Putri yang jelita. Nasi sudah di bibir, pikirnya.
      Mengetahui penyebab hilangnya bintang-bintang di langit saat bulan purnama itu adalah ulah dari Grandong, maka marahlah kesatria bijak Raden Kertayasa yang setiap malam memperhatikan kegembiraan warga kampung. Ia mendekati mahluk yang tengah asyik mengumpulkan bintang yang ia petik dari langit.
      “Hai Ki Sanak, kembalikan bintang-bintang itu ke langit! Tidak tahukah bahwa bintang itu adalah milik Hyang Kuasa yang diperuntukan buat warga kampung?”
    “Ha ha ha ha.....Kertayasa......jangan kau ganggu aku. Lihat Putri Gerlipa telah menunggu kedatanganku bersama manik-manik ini. Pergilah haiii, Kertayasa!” Hardik Grandong, tanpa mempedulikan perintah Kertayasa.
      Raden Kertayasa marah besar, didekatinya puncak itu lalu ditendangnya hingga puncak itu berterbangan ke arah selatan bersama tubuh Grandong. Tubuh  Grandong terpelanting ke udara dan jatuh disebelah utara jasad Kebo Gumulung yang telah ia kalahkan sebelumnya. Diambilnya satu demi satu oleh Raden Kertayasa bintang yang terjatuh dan diterbangkannya kembali ke langit. Bintang-bintang itu terbang dan menari-menari memenuhi seluruh langit malam itu. Bulan tersenyum melihat seluruh warga kampung bergembira dan memuja dirinya. Warga kampung kembali menjalani malam purnama dengan suka cita tanpa harus was-was akan munculnya manusia raksasa Grandong.
      Siapakah Grandong itu? Grandong adalah pria pendatang dari negeri sebrang berujud setengah raksasa yang perkasa. Bukan saja sakti dengan ilmu sihir dan kanuragan, tapi perkasa “kelelakiannya”. Konon ia masih keturunan Raja Alengka Prabu Rahwana. Ia beristri lebih dari 40 orang dan mempunyai anak ratusan orang. Itulah walaupun telah beristri lebih dari 40 orang ia tetap ingin menambah istri acapkali menemukan perempuan cantik. Tapi hasrat untuk beristri lagi terpupus sudah karena ia harus terbunuh oleh tendangan kaki Prabu Kertayasa. Kantung testis (gaber) miliknya terlepas dari tubuh dan tertinggal disebelah utara jasadnya. Konon kantong testis yang bergaris tengah belasan meter itu menggunung dan lama-lama tumbuh semak dan berbagai tumbuhan hutan yang selanjutnya dikenal dengan nama Gunung Gaber. Tempat jasad Grandong yang berada di lembah selatan dikenal dengan nama grumbul Grandong berdekatan dengan grumbul Kebo Gumulung. Beberapa ratus tahun kemudian Raden Kertayasa meninggal dunia dengan cara murca / muksa, yaitu meninggal dunia tanpa diketahui jasadnya. Ia hanya meninggalkan petilasan tepat di tengah kampung. Kampung tempat Raden Kertayasa  mengakhiri aktifitas duniawinya  diberi nama desa Ketayasa. Pada masa pemerintahan Bupati Soekarno Agoeng sekitar tahun 1970-an desa Ketayasa diganti menjadi Kotayasa. Artinya Desa Yang Akan Menjadi Kota. Sedangkan puncak Gunung Slamet yang terdampar jauh ke arah selatan itu diberi nama Gunung Tugel yang berada di selatan kota Purwokerto.
Gunung Gaber masih berdiri kokoh hingga sekarang sebagai jelmaan dari kantung testis (gaber) si Grandong. Pada malam-malam tertentu puncak Gunung Gaber banyak didatangi para “peziarah” pria untuk melakukan ritual. Kebanyakan para peziarah itu bermeditasi meminta untuk dikaruniai kejantanan, keperkasaan pria. Tersebar kabar, bagi pria lemah syahwat akan kembali perkasa setelah melakukan meditasi di puncak tersebut. Maklum karena tempat tersebut terpendam kedua testis milik mahluk perkasa bernama Grandong.
Letak Gunung Gaber berada di sebelah timur desa Kotayasa dengan lereng timur menjadi batas desa Kotayasa dengan desa Gandatapa. Gunung Gaber mudah dijangkau baik dengan jalan kaki maupun kendaraan bermotor melewati jalan beraspal. Jarak dari pemukiman hanya berkisaran 500 meter saja lewat pasar Tong Barang desa Kotayasa ke arah timur.
      Inilah cerita tentang terjadinya Gunung Gaber yang lokasinya terletak di desa Kotayasa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Cerita ini fiktif belaka. Apabila tersirat hal-hal ghaib, bukanlah ajakan untuk berbuat musrik.

3 komentar: